• 082187095530
  • museumnekara7@gmail.com

Naskah

Lontara atau bahasa Makassar adalah salah satu bahasa daerah yang mempunyai huruf atau aksara khas yaitu lontara. Huruf tersebut bermakna suatu berkah dan keberuntungan tersendiri bagi masyarakata local atau keberadaannya. Menurut sejarah lontara huruf lontara pertama kali dibuat pada abad ke 14 oleh Dg. Pamatte. Daeng pamatte merupakan seorang putra Gowa kelahiran lakiung yang hidup pada masa pemerintahan Karaeng Tumapa’risi Kallonna.

Lontara atau bahasa Makassar adalah salah satu bahasa daerah yang mempunyai huruf atau aksara khas yaitu lontara. Huruf tersebut bermakna suatu berkah dan keberuntungan tersendiri bagi masyarakata local atau keberadaannya. Menurut sejarah lontara huruf lontara pertama kali dibuat pada abad ke 14 oleh Dg. Pamatte. Daeng pamatte merupakan seorang putra Gowa kelahiran lakiung yang hidup pada masa pemerintahan Karaeng Tumapa’risi Kallonna. Daeng Pamatte terkenal dengan kepandaiannya, sehingga ia diberi amanah untuk menjabat sebagai Syahbandar dan Tumailalang (urusan dalam negeri) kerajaan Gowa oleh karaeng Tumapa’risi Kallonna. Semua huruf lontara yang dibuat oleh daeng ppamatte bernama lontara jangang-jangang, pemberian nama itu berdasarkan bentuk uruf yang meyerupai burung (jangang-jangan). Tetapi berjalan seiringnya waktu, karena terpengaruh dengan budaya islam yang mulai dianut oleh kalangan istana sehingga pada abad ke 19 maka huruf lontatar mengalami perbaikan dan penyempurnaan menjadi lontara bilang-bilang seperti yang ada saat ini. Konon huruf yang dipakai dalam aksara lontara berasal dari huruf pallawa (Dewanagari), salah satu turunan huruf brahmi kuno yang berasal dari india. Hal tersebut tidak mengherankan karena memeang brahmi kuno merupakan asal mjasla dari senmua aksara di india dan diasia tenggara termasuk du Nusantara (Indonesia). Menurut masyarakat Makassar, huruf lontara dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan (falsafah) “Sulapa Appa”, Patang sulapa (Selayar) (empat persegi, empat unsur alam semesta) yaitu: Butta (tanah), Je’ne (air), Angin, dan pepe’ (Api). Dikatakan huruf lontara, karena hurufnya ditulis dengan menggunakan daun lontara (siwalan) sebagai pengganti kertas. Selain tahan lama juga mudah disimpan karena tidak makan tempat. Namun dalam perkembangannya banyak naskah lontara yang ditulis dalam buku denga kertas impor dari eropa. Teks umumnya ditulis dengan tinta local menggunakan rusuk daun palem atau kallang (kalam) yang terbuat dari batangan buluh. Tak hanya dalam bentuk buku , huruf lontara juga ditemukan dalam beberapa pita rekaman. Selembar daun lontara yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks dibaca dengan cara menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Tetepai media ini hanya ditemukan beberapa contoh saja. Selain itu huruf lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai bagian dari seni terapan, missal pada cap dan kerajinan perak. Pada pertengahan abad ke 19 teknologi cetak huruf lontara diprakarsai oleh B.F Mattthes mulai berkembang.Matthes diberi wewenang oleh lembaga penginjilan belanda untuk mempelajarai bahasa yang digunakan disulawesi selatan dengan tujuan menghilangkan kamus, materi tata bahasa dan terjemahan injil yang layak bagi bahasa tersebut. Pada tahun 1848 M matthes tiba di Makassar dan tinggal selam 10 tahun.Pada tahun 1856 Matthes berhasil memproduksi sebuah font cetak yang dianggap cukup memuaskan untuk huruf lontara yang merupakan hasil kerja samanya dengan percetakan Tetterode di Rotterdam dengan eberapa suntingan beberapa tahuan kedepannya. Sejak saat itu sastra Makassar dan bugis dengan font lontara yang digubbah Matthes dapat dicetak massal dan menjadi komsumsi kahalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran disekolah dasar masa itu. Bermula dari sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh Sulawesi selatan. Isis naskah lontarak seperti Lontara bilang, silsilah, Surat tanah, dan sebagainya.

Aksara lontara (Abugida) juga dikenal dengan aksara Bugis-Makassar atau aksara lontara baru adalah merupakan aksara tradisional yang berkembang di Sulawesi Selatan. Aksara ini berkembang pada abad ke 17. Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi india melalui perantara aksara kawi. Akasara lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari sejak abad ke 16 m hingga awal abad ke 20. Lontara sendiri berasal dari kata lontar yang merupakan salah satu jens tumbuhan yang ada di Sulawesi selatan. Istilah lontara mengacu pada literature mengenai sejarah dan geneologi masyarakat bugis salah satunya pada Sureq la galigo. Menurut Professor Mattulada bentuk dasar aksara lontara berasal dari bentuk filosofis Sulapa Appa Walasuji. Sulapa Appa  (Empat sisi) adalah bentuk mistis keprcayaan bugis Makassar kalisk yang menyimbolkan unsur pembentukan manusia yaitu Pepe (api), air,angina dan tanah. Sedangkan wala suji adalah pagar bambu yang biasa digunakan pada acara ritual. Aksara lontara terdiri dari 23 huruf untuk lontara bugis dan 19 huruf untuk lontara Makassar. Selain itu perbedaan lontara Makassar dan bugis dikenal dengan huruf ngka’, mpa’,nca’, dan nra’, sedangkan pada lontara Makassar tidak ada. Para leluhur bugis memberikan nasihat kepada cucunya yang hendak merantau dengan akasara lontara nasihat ini berpesan mengenai empat hal tentang kekayaan dan kesuksesan: Pertama; kaya dalam berbahasa dan berkomunikasi; kaya dalam pemikiran dan imajinasi; kaya dalam dunia usaha’ dan kaya dalam keuangan. Isi naskah antara lain silsilah, lontara bilang. Menurut hoipotesis aksara lontara berasal dari abjad proto Sinai, fenisia, Aramea, Brahmi, Pallawa, Kawi, Lontara.

Aksara Serang/Pegon

Kata pegon berasal dari bahasa jawa yaitu pego yang berarti menyimpang. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam bahasa arab dianggap sesuatu yang tidak lazim. Silsilah aksara pegon/serang yaitu dari aksara Hieroglif mesir, proto Sinai, fenisia,Aram,Nabath, Arab,Pegon. Akasara ini berkembang pada masa islam. Abjad pegon lebih memperjelas fonem dengan bantuan harakat.

 

Akasara serang adalah salah satu variasi dari akasara arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Makassar dan bugis di Sulawesi selatan pada abad kedatangan tamadun islam mulai sekitar abad ke 17. Kemunculan akasara serang berkaitan dengan kedatangan orang melayu di sulwesi selatan yang telah pandai mereformasi skrip arab, yaitu tulisan jawi sesuai dengan system bunyi bahasa melayu sejak abad ke-14. Bagi orang melayu tulisan jawi lazim dianggap sebagai wahana untuk penyebaran peradaban islam di Indonesia. Dengan demikian dimanapun peradaban islam masuk di Indonesia tulisan jawi disebarkan pula oleh orang melayu untuk menyalin ajaran islam ke bahasa setempat sebagai symbol islam  (Ahmad Rahman & Muhammad Salim, 1996: 33-34). Kemampuan orang melayu terhadap penggunaan skrip arab, mendorong mereka untuk memegang jabatan syahbandar dan juru tulis istana dalam kerajaan Gowa (sejak raja X, karaeng lakiung tunipallangga ulaweng (1546-1565).Sejak itu secara turun temurun jabatan tersebtu dipegang oleh orang melayu. Fakta sejarah inti dapat menunjukkan bahwa penggunaan skrip arab, yaitu aksara serang disulawesi selatan di motifasi oleh orang melayu yang menjadi syahbandar dan juru tulis istana kerajaan Gowa. Bukti variasi grafem dalam akasara serang berbeda dengan tulisan jawi. Nama sebutan ‘serang” masih belum jelas asal ususlnya namun ada beberapa hipotesis. Menurut mattulada istilah serang berasala dari kata seram yang menunjukkan suku seram, karena agama islam dan skrip arab di bawah oleh suku seram ke Sulawesi selatan (Kontjaraningrat, 1999:269). Akan tetapi tidak terdapat bukti sejarah apapun bahwa orang seram membawa Islam ke sulawesi selatan. Selain itu dalam kamus bahasa bugis Makassar kata serang berarti miring atau tidak lurus. Ada kemungkinan aksara “serang” ini merupakan nama lain atau pengaruh  dari aksara pegon (Bahasa jawa/banten/serang) yang artinya meyimpang.  Penggunaan aksara serang sangat terbatas namun sikap penerimaan peradaban islam di Sulawesi selatan agak posistif dan aktif. Saat aksara serang di kenal di Sulawesi selatan kedudukannya tidak kuat karena aksara lontara telah lama digunakan. Akasar latin juga salah satu alas an ynag membatasi penggunaan aksara serang di Sulawesi selatan. Ketika peradaban barat masuk di Sulawesi selatan melalui belanda bahasa bahasa setempat sudah mulai dicatat dalam akasara latin. Sehingga aksara serang tidak dapat menguasai penggunaan system tulisan dari aksara latin yang lebih hemat dan mudah dalam penulisan sehingga penggunaan akasara serang hanya terbatan dalam lingkungan ajaran islam.Dengan kata lain aksara serang merosost penggunaanya disebabkan oleh aksara lontaraq yang telah lama menahan tradisinya dan akasara latin yang penulisannya hemat dan mudah (cho Tae Young, 2010;109) Isi naskah aksara seram seperti Khutbah, Takwim, Kutika, Tasawwuf.

You need to Login OR Register for comment.

Komentar (0)