• 082187095530
  • museumnekara7@gmail.com

Paus Rama Bosa

Kajian sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia umumnya bermula pada usaha untuk mengungkap nilai-nilai perjuangan rakyat, baik berkaitan dengan jiwa dan semangat kepahlawanan maupun yang berhubungan dengan integritas dan pembentukan bangsa yang terwujud dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kajian sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia umumnya bermula pada usaha untuk mengungkap nilai-nilai perjuangan rakyat, baik berkaitan dengan jiwa dan semangat kepahlawanan maupun yang berhubungan dengan integritas dan pembentukan bangsa yang terwujud dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Patut diakui bahwa perjuangan rakyat Indonesia secara menyeluruh, telah memberi legitimasi terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan sekaligus pula terhadap  hasil keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebab jika rakyat Indonesia tidak bangkit berjuang dengan jiwa kesatria dan semangat nasionalisme Indonesia, maka kemerdekaan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik  Indonesia  tidak  akan  terwujud.

            Perjuangan rakyat Indonesia secara menyeluruh setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945  termasuk di Kepulauan Selayar merupakan titik kulminasi perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena jauh sebelumnya sejak kehadiran VOC pada abad ke-17 tindakan penolakan dan perlawanan terhadap Belanda senantiasa terjadi. Bahkan hingga awal abad ke-20 ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak menguasai secara langsung seluruh wilayah Hindia Belanda termasuk Kepulauan Selayar telah menimbulkan gerakan perlawanan baik secara sembunyi–sembunyi  maupun secara terang-terangan. Perlawanan terhadap Belanda berlanjut hingga pertengahan abad 20 dan mencapai puncaknya setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Sebab, Pemerintah Belanda tidak saja menolak memberikan pengakuan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, tetapi juga karena aparat NICA/Belanda berusaha kembali menduduki dan mencengkeramkan kekuasaannya dalam wilayah Republik  Indonesia termasuk di Kepulauan  Selayar. Pemuda dan rakyat  Selayar tidak menerima kehadiran NICA/Belanda sehingga terbentuklah basis-basis perlawanan di Kepulauan Selayar seperti : basis perlawanan rakyat di Kampung Polebunging, Karajaang, Gantarang Lohe, Barugaiya, Palemba, Parak, Teko, Manarai, Buloyya, Bontodatara, Batangmata Sapo, Buki, Onto,  Bontonumpa,   Barang-Barang, Pariangan, dan lain lain.  Sejak berita kekalahan Jepang atas Sekutu pemuda pejuang Selayar telah mengadakan persiapan untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia. Para pemuda bekas Heiho Jepang dan pemuda lainnya menyatu  dan merapatkan barisan  dalam  mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pemuda pejuang di kota  Benteng Selayar dikoordinir oleh: M. Ali Solong, Nastura dan M. Amin Solong. Pemuda Bonea dikoordinir oleh Mustafa sedangkan pemuda Parak dikoordinir oleh Basong Dg. Bicara, Ruku Dg.Mapata,  Zaenal Abidin Husain, M. Aksah Tarru, A. Rifai  Muhsin, dan lain lain.

Periode perjuangan yang panjang tersebut bukan hanya telah melahirkan beberapa tokoh pejuang, melainkan juga telah melahirkan pengorbanan yang tak ternilai harganya baik dalam bentuk harta benda maupun jiwa dan raga. Pengorbanan yang diberikan itu bukan didasari oleh kepentingan pribadi dan bukan pula merupakan angan–angan untuk memperoleh posisi yang strategis dalam struktur kekuasaan atau impian untuk memperoleh kekayaan bila kemerdekaan terwujud. Apa yang diperjuangkan dengan konsekwensi mengorbankan segala–galanya adalah untuk kehormatan dan martabat bangsa yang telah dihina oleh bangsa Belanda sejak lama dan untuk masa depan yang lebih baik.. Selain itu juga untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia setingkat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Hal inilah yang melatar belakangi rakyat dan pemuda pejuang Selayar setelah mengetahui dengan pasti Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sepakat untuk mendukung sepenuhnya karena dipandang sebagai cara untuk melenyapkan penjajahan yang menyengsarakan. Dukungan rakyat itu tidak saja ditandai dengan pernyataan sikap melainkan juga diwujudkan  dalam kesediaan mereka untuk berkorban dan secara suka rela menjadi anggota dari organisasi kelaskaran yang dibentuk di wilayah Kepulauan Selayar.

            Pada Tanggal 29 September 1945 bertepatan dengan hari keberangkatan utusan Sekutu meninggalkan Selayar mendarat pula seorang tokoh mantan Heiho  Abd. Rauf Rahman di Benteng Selayar. Kedatangannya di Benteng Selayar dalam rangka memenuhi janjinya yang pernah diungkapkan bersama Nastura sewaktu mereka satu barisan di Heiho Jepang. . Janji ini terukir  sejak mereka bersama  mengikuti pelatihan militer Heiho Jepang  di Makassar. Kedua Tokoh ini bersepakat untuk merebut senjata Jepang dalam rangka mempertahankan kekuasaan De facto Republik Indonesia  di Selayar. Akibat  perjalanan yang memakan waktu, alat perang serta amunisi jepang yang ingin diambil alih tadi sudah terlebih dahulu diangkut menuju Bulukumba. Kedatangan Abd. Rauf Rahman terlambat sampai di Selayar. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi tekad dan semangat jihadnya bersama pemuda lainnya. Rencana selanjutnya adalah merebut senjata peninggalan Belanda dan Jepang yang dikuasai polisi kolonial. Strategi disusun, pertemuan antar pemuda semakin intensif, puncaknya adalah pertemuan di rumah Andi Muhammad Opu Karaeng Bontobiraeng di  Bonea Selayar. Dalam pertemuan itu lahir kesepakatan untuk memilih Kampung Parak sebagai basis kekuatan dalam rangka merebut kekuasaan dari NICA/Belanda. Kampung Parak menjadi basis induk di Utara karena pertimbangan sebagai berikut :

-       Jarak yang ideal dan tidak memakan waktu tempuh lama untuk sampai pada target serangan. (± 5 Km)

-       Pemuda–pemuda sekitar Kampung Parak seperti pemuda Kampung Polebunging, Karajaang,  Gantarang  Lohe, Teko, Mare-Mare lebih mudah mengakses sampai ke Parak.

-       Pemuda Kampung Parak sejak awal telah mempunyai kesadaran untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.

-       Masyarakat Parak lebih memahami situasi target serangan.

-       Kota Benteng Selayar yang senantiasa dalam pengawasan polisi kolonial tidak memungkinkan menjadi basis perjuangan.

Kegiatan  konsolidasi berjalan dengan baik, sampai waktu pengambil alihan  kekuasan pun tiba.  Tidak kurang dari  200 orang  pemuda pejuang dibawah Komando Abdul Rauf Rahman berkumpul di Kota Benteng Selayar,  untuk merebut kantor polisi kolonial.  Pemuda-pejuang  tersebut  terbagi atas  dua  kolompok.

Kelompok I dipimpin oleh Nastura dengan jalur penyerangan dari posisi Timur menuju markas polisi yang terletak di sebelah Utara Lapangan Pemuda Benteng (sebelah Barat Lembaga Pemasyarakatan Selayar sekarang). Sedangkan kelompok II dipimpin oleh Muhammad Aksa Tarru mengambil arah dari sebelah Barat menuju markas polisi kolonial.

Pada tanggal 29 Nopember 1945 adalah hari yang paling mencekam di sekitar Lapangan Pemuda Benteng saat itu. Dengan berbekal senjata seadanya, ratusan pemuda pejuang yang tiba dari perjalanan yang melelahkan  dari Kampung Polebunging, Karajaang, Gantarang Lohe, Parak, Palemba, Manarai, Buloiya, Teko, Mare-Mare, Barugaiya, dan kampung-kampung lainnya  akan berjibaku dengan polisi  kolonial yang bersenjata lengkap. Dengan semangat dan jiwa patriot proklamasi yang membara, pemuda pejuang akhirnya melakukan  pengepungan  markas polisi kolonial dari berbagai penjuru. Saat itu, Abdul Rauf Rahman memasuki markas polisi tersebut dan menawarkan dua opsi kepada polisi kolonial hanya dalam jangka waktu 5 menit, “Menyerahkan kekuasaan beserta peralatan senjata polisi kolonial kepada para pemuda pejuang”  atau “Perang.” Ratusan pemuda pejuang dengan tanda lilitan merah putih di kepalanya siap siaga di sekitar titik serangan menunggu komando penyerangan. Sekitar lima menit paska masuknya Abdul Rauf Rahman bernegosiasi dengan pihak polisi kolonial,  akhirnya polisi kolonial menyerah dan semua persenjataan diserahkan dengan tanpa  pertumpahan darah. Berikut ini beberapa senjata yag diserahkan :

1.     Satu pucuk pistol dengan pelurunya

2.     Dua pucuk karabyn serta pelurunya

3.     Satu buah granat tangan

4.     Sejumlah pakaian seragam

Peristiwa pengambil alihan kekuasaan ini diiringi gelora takbir Allahu Akbar dan pekik merdeka dari ratusan  pemuda di sekitar titik penyerangan sebagai rasa syukur atas berdirinya Selayar dalam kekuasaan De facto Republik Indonesia. Sejak saat itu, perumahan Polres Selayar sekarang dijadikan oleh pemuda pejuang sebagai markas atau basis perjuangan.

Berita penyerahan itu tersebar luas di masyarakat Selayar dan disambut dengan rasa sukacita dan kegembiraan.  Berita ini disampaikan oleh Ince Abbas kepada Opu Bontobangung yang oleh para Opu pada saat itu masih mengakuinya  sebagai kepala Onderafdeling Selayar yang berkantor di Matalalang. Opu Bontobangung akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa  hal itu telah diketahui sebelumnya kemudian beliau mengeluarkan pernyataan bahwa ia pun pendukung Merah Putih dan kemerdekaan Indonesia.  Maka pengambil alihan kekuasaan pada hari itu juga diserahkan, dari pemerintahan Onderafdeling Selayar/Opu Bontobangung kepada kekuasaan De facto Republik Indonesia. Proses pengambil alihan pemerintahan ini diprakarsai oleh Syafaruddin dan Makgalatung Daeng Pasolong yang menjadi perwakilan pemuda pejuang kemerdekaan. Dan akhirnya kekuasaan De facto Republik Indonesia berpusat di  Benteng Selayar.

Dengan demikian seluruh wilayah Onderafdeling Selayar berada dalam penguasaan pemuda pejuang dengan pusat kegiatan di Benteng Selayar. Sejak saat itu, Bendera Merah Putih Biru diturunkan dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di Benteng Selayar. 

 

You need to Login OR Register for comment.

Komentar (0)