Upacara Adat Selayar (Adat Perkawinan Selayar)
- 25 Jun, 24
- Museum Nekara
Kajian sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia umumnya bermula pada usaha untuk mengungkap nilai-nilai perjuangan rakyat, baik berkaitan dengan jiwa dan semangat kepahlawanan maupun yang berhubungan dengan integritas dan pembentukan bangsa yang terwujud dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kajian sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia umumnya bermula pada
usaha untuk mengungkap nilai-nilai perjuangan rakyat, baik berkaitan dengan
jiwa dan semangat kepahlawanan maupun yang berhubungan dengan integritas dan
pembentukan bangsa yang terwujud dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Patut diakui bahwa perjuangan rakyat Indonesia secara menyeluruh, telah memberi
legitimasi terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan sekaligus pula
terhadap hasil keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Sebab jika rakyat Indonesia tidak bangkit berjuang dengan jiwa kesatria
dan semangat nasionalisme Indonesia, maka kemerdekaan dan pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak akan terwujud.
Perjuangan rakyat Indonesia secara menyeluruh setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
termasuk di Kepulauan Selayar merupakan titik kulminasi perjuangan bangsa
Indonesia dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena jauh sebelumnya sejak
kehadiran VOC pada abad ke-17 tindakan penolakan dan perlawanan terhadap
Belanda senantiasa terjadi. Bahkan hingga awal abad ke-20 ketika Pemerintah
Hindia Belanda hendak menguasai secara langsung seluruh wilayah Hindia Belanda
termasuk Kepulauan Selayar telah menimbulkan gerakan perlawanan baik secara
sembunyi–sembunyi maupun secara terang-terangan. Perlawanan terhadap
Belanda berlanjut hingga pertengahan abad 20 dan mencapai puncaknya setelah
bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Sebab,
Pemerintah Belanda tidak saja menolak memberikan pengakuan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia, tetapi juga karena aparat NICA/Belanda berusaha kembali
menduduki dan mencengkeramkan kekuasaannya dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk di Kepulauan Selayar. Pemuda dan rakyat
Selayar tidak menerima kehadiran NICA/Belanda sehingga terbentuklah
basis-basis perlawanan di Kepulauan Selayar seperti : basis perlawanan rakyat
di Kampung Polebunging, Karajaang, Gantarang Lohe, Barugaiya, Palemba, Parak,
Teko, Manarai, Buloyya, Bontodatara, Batangmata Sapo, Buki, Onto,
Bontonumpa, Barang-Barang, Pariangan, dan lain lain. Sejak
berita kekalahan Jepang atas Sekutu pemuda pejuang Selayar telah mengadakan
persiapan untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia. Para pemuda bekas
Heiho Jepang dan pemuda lainnya menyatu dan merapatkan barisan
dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pemuda pejuang
di kota Benteng Selayar dikoordinir oleh: M. Ali Solong, Nastura dan M. Amin
Solong. Pemuda Bonea dikoordinir oleh Mustafa sedangkan pemuda Parak
dikoordinir oleh Basong Dg. Bicara, Ruku Dg.Mapata, Zaenal Abidin Husain,
M. Aksah Tarru, A. Rifai Muhsin, dan lain lain.
Periode perjuangan yang panjang tersebut bukan
hanya telah melahirkan beberapa tokoh pejuang, melainkan juga telah melahirkan
pengorbanan yang tak ternilai harganya baik dalam bentuk harta benda maupun
jiwa dan raga. Pengorbanan yang diberikan itu bukan didasari oleh kepentingan
pribadi dan bukan pula merupakan angan–angan untuk memperoleh posisi yang
strategis dalam struktur kekuasaan atau impian untuk memperoleh kekayaan bila
kemerdekaan terwujud. Apa yang diperjuangkan dengan konsekwensi mengorbankan
segala–galanya adalah untuk kehormatan dan martabat bangsa yang telah dihina
oleh bangsa Belanda sejak lama dan untuk masa depan yang lebih baik.. Selain
itu juga untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia setingkat dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Hal inilah yang melatar belakangi rakyat dan
pemuda pejuang Selayar setelah mengetahui dengan pasti Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, sepakat untuk mendukung sepenuhnya karena dipandang sebagai
cara untuk melenyapkan penjajahan yang menyengsarakan. Dukungan rakyat itu
tidak saja ditandai dengan pernyataan sikap melainkan juga diwujudkan
dalam kesediaan mereka untuk berkorban dan secara suka rela menjadi anggota
dari organisasi kelaskaran yang dibentuk di wilayah Kepulauan Selayar.
Pada
Tanggal 29 September 1945 bertepatan dengan hari keberangkatan utusan Sekutu
meninggalkan Selayar mendarat pula seorang tokoh mantan Heiho
Abd. Rauf Rahman di Benteng Selayar. Kedatangannya di Benteng Selayar dalam
rangka memenuhi janjinya yang pernah diungkapkan bersama Nastura sewaktu mereka
satu barisan di Heiho Jepang. . Janji ini terukir sejak
mereka bersama mengikuti pelatihan militer Heiho Jepang di
Makassar. Kedua Tokoh ini bersepakat untuk merebut senjata Jepang dalam rangka
mempertahankan kekuasaan De facto Republik Indonesia di
Selayar. Akibat perjalanan yang memakan waktu, alat perang serta amunisi
jepang yang ingin diambil alih tadi sudah terlebih dahulu diangkut menuju
Bulukumba. Kedatangan Abd. Rauf Rahman terlambat sampai di Selayar. Akan
tetapi, hal ini tidak mengurangi tekad dan semangat jihadnya bersama pemuda
lainnya. Rencana selanjutnya adalah merebut senjata peninggalan Belanda dan
Jepang yang dikuasai polisi kolonial. Strategi disusun, pertemuan antar pemuda
semakin intensif, puncaknya adalah pertemuan di rumah Andi Muhammad Opu Karaeng
Bontobiraeng di Bonea Selayar. Dalam pertemuan itu lahir kesepakatan
untuk memilih Kampung Parak sebagai basis kekuatan dalam rangka merebut
kekuasaan dari NICA/Belanda. Kampung Parak menjadi basis induk di Utara karena
pertimbangan sebagai berikut :
- Jarak
yang ideal dan tidak memakan waktu tempuh lama untuk sampai pada target
serangan. (± 5 Km)
- Pemuda–pemuda
sekitar Kampung Parak seperti pemuda Kampung Polebunging, Karajaang,
Gantarang Lohe, Teko, Mare-Mare lebih mudah mengakses sampai ke
Parak.
- Pemuda
Kampung Parak sejak awal telah mempunyai kesadaran untuk berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945 di Jakarta.
- Masyarakat
Parak lebih memahami situasi target serangan.
- Kota
Benteng Selayar yang senantiasa dalam pengawasan polisi kolonial tidak
memungkinkan menjadi basis perjuangan.
Kegiatan konsolidasi berjalan dengan baik,
sampai waktu pengambil alihan kekuasan
pun tiba. Tidak kurang dari 200 orang pemuda pejuang dibawah
Komando Abdul Rauf Rahman berkumpul di Kota Benteng Selayar, untuk
merebut kantor polisi kolonial. Pemuda-pejuang tersebut
terbagi atas dua kolompok.
Kelompok I dipimpin oleh Nastura dengan jalur
penyerangan dari posisi Timur menuju markas polisi yang terletak di sebelah Utara
Lapangan Pemuda Benteng (sebelah Barat Lembaga Pemasyarakatan Selayar
sekarang). Sedangkan kelompok II dipimpin oleh Muhammad Aksa Tarru mengambil
arah dari sebelah Barat menuju markas polisi kolonial.
Pada tanggal 29 Nopember 1945 adalah hari yang paling
mencekam di sekitar Lapangan Pemuda Benteng saat itu. Dengan berbekal senjata
seadanya, ratusan pemuda pejuang yang tiba dari perjalanan yang melelahkan
dari Kampung Polebunging, Karajaang, Gantarang Lohe, Parak, Palemba,
Manarai, Buloiya, Teko, Mare-Mare, Barugaiya, dan kampung-kampung lainnya
akan berjibaku dengan polisi kolonial yang bersenjata lengkap. Dengan
semangat dan jiwa patriot proklamasi yang membara, pemuda pejuang akhirnya
melakukan pengepungan markas polisi kolonial dari berbagai penjuru.
Saat itu, Abdul Rauf Rahman memasuki markas polisi tersebut dan menawarkan dua
opsi kepada polisi kolonial hanya dalam jangka waktu 5 menit, “Menyerahkan
kekuasaan beserta peralatan senjata polisi kolonial kepada para pemuda pejuang” atau “Perang.” Ratusan pemuda
pejuang dengan tanda lilitan merah putih di kepalanya siap siaga di sekitar
titik serangan menunggu komando penyerangan. Sekitar lima menit paska masuknya
Abdul Rauf Rahman bernegosiasi dengan pihak polisi kolonial, akhirnya
polisi kolonial menyerah dan semua persenjataan diserahkan dengan tanpa
pertumpahan darah. Berikut ini beberapa senjata yag diserahkan :
1. Satu
pucuk pistol dengan pelurunya
2. Dua
pucuk karabyn serta pelurunya
3. Satu
buah granat tangan
4. Sejumlah
pakaian seragam
Peristiwa pengambil alihan
kekuasaan ini diiringi gelora takbir Allahu Akbar dan pekik
merdeka dari ratusan pemuda di sekitar titik penyerangan sebagai rasa
syukur atas berdirinya Selayar dalam kekuasaan De facto Republik
Indonesia. Sejak saat itu, perumahan Polres Selayar sekarang dijadikan oleh
pemuda pejuang sebagai markas atau basis perjuangan.
Berita penyerahan itu tersebar luas di
masyarakat Selayar dan disambut dengan rasa sukacita dan kegembiraan.
Berita ini disampaikan oleh Ince Abbas kepada Opu Bontobangung yang oleh para
Opu pada saat itu masih mengakuinya sebagai kepala Onderafdeling Selayar
yang berkantor di Matalalang. Opu Bontobangung akhirnya mengeluarkan pernyataan
bahwa hal itu telah diketahui sebelumnya kemudian beliau mengeluarkan
pernyataan bahwa ia pun pendukung Merah Putih dan kemerdekaan Indonesia.
Maka pengambil alihan kekuasaan pada hari itu juga diserahkan, dari
pemerintahan Onderafdeling Selayar/Opu Bontobangung kepada
kekuasaan De facto Republik Indonesia. Proses pengambil alihan
pemerintahan ini diprakarsai oleh Syafaruddin dan Makgalatung Daeng Pasolong
yang menjadi perwakilan pemuda pejuang kemerdekaan. Dan akhirnya
kekuasaan De facto Republik Indonesia berpusat di
Benteng Selayar.
Dengan demikian seluruh wilayah Onderafdeling Selayar
berada dalam penguasaan pemuda pejuang dengan pusat kegiatan di Benteng
Selayar. Sejak saat itu, Bendera Merah Putih Biru diturunkan dan diganti dengan
Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di Benteng Selayar.
You need to Login OR Register for comment.
Komentar (0)