• 082187095530
  • museumnekara7@gmail.com

Numismatik

Dinasti Sung ialah salah satu dinasti yang memimpin kerajaan di Tiongkok. Diperkirakan dinasti ini telah ada sejak 960-1279 M. Dinasti Sung didirikan oleh Chao Kuang Yin, dalam perkembangannya Dinasti Sung mengalami perpecahan menjadi dua yaitu Dinasti Sung Utara (960-1127) dan Dinasti Sung Selatan (1127-1279).

Dinasti Sung ialah salah satu dinasti yang memimpin kerajaan di Tiongkok. Diperkirakan dinasti ini telah ada sejak 960-1279 M. Dinasti Sung didirikan oleh Chao Kuang Yin, dalam perkembangannya Dinasti Sung mengalami perpecahan menjadi dua yaitu Dinasti Sung Utara (960-1127) dan Dinasti Sung Selatan (1127-1279).

Pada masa Dinasti Sung, pelayaran di Kerajaan Tiongkok telah berkembang dengan pesat. Mereka telah melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah salah satunya di Nusantara. Mereka menuliskan catatan perjalanannya ke Nusantara dengan sangat detail dalam “Catatan Sejarah Dinasti Sung”. Dalam catatan tersebut juga di tulis bahwa Jawa berada di Samudera Selatan.

Seiring berkembangnya waktu dan meningkatnya teknologi pelayaran, semakin banyak ekspedisi yang dilakukan oleh Dinasti Sung, hingga terjalin kerjasama dengan pemimpin-pemimpin kerajaan di Nusantara. Kerjasama yang terjalin salah satunya dengan Kerajaan Mataram Kuno, keduanya berkerjasama dalam bidang perdagangan. Semakin tinggi intensitas perdagangan memunculkan sistem baru yaitu mata uang.

Mata Uang Dinasti Sung awalnya digunakan pada abad ke 10 di Nusantara dengan sangat terbatas. Penggunaan mata uang dinasti Sung awlanya digunakan sebagai upeti ( pajak berupa uang & harta benda) kepada raja sebagai tanda kerjasama diantara keduanya. Seiring meningkatnya intensitas perdagangan, Kerajaan Mataram Kuno melalukan impor mata uang dari Tiongkok pada abad ke 11 hingga awal abad ke 14. Mata uang tersebut digunakan sebagai alat tukar menukar di perdagangan. Biasanya untuk perdagangn rempah-rempah

 A. Masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha

​Sebelum masa kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan di Nusantara telah menuntut penggunaan alat pembayaran yang dapat diterima secara umum sebagai pengganti sistem barter. Mulanya alat pembayaran yang digunakan masih sangat sederhana, seperti di wilayah Irian yang memakai kulit dengan jenis tertentu, lalu di wilayah Bengkulu dan Pekalongan yang memakai manik-manik, dan di wilayah Bekasi memakai belincung sebagai alat pembayaran pada saat itu .

Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, alat pembayaran tersebut mengalami kemajuan, terutama dari bahan dan desainnya. Di Jawa misalnya, alat pembayaran sudah terbuat dari logam. Mata uang tertua yang dibuat sekitar awal abad ke-12, dari emas dan perak, yang disebut Krisnala (uang Ma) peninggalan kerajaan Jenggala. Sementara itu, di luar Jawa, kerajaan Buton meninggalkan uang Kampua yang beredar pada abad ke-9.

Kerajaan-kerajaan besar Hindu-Buddha di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit pada masa itu telah memiliki mata uang sendiri. Sayangnya, uang peninggalan di masa Kerajaan Sriwijaya belum ditemukan. Sedangkan Majapahit, meninggalkan uang Gobog yang terbuat dari tembaga, diperkirakan

beredar pada abad ke-14 sampai ke-16. Selain sebagai alat pembayaran, uang ini juga banyak digunakan sebagai benda keramat.

 

B. Masa kejayaan kerajaan Islam

 

Pada abad ke-15, ketika Islam berkembang di Nusantara, beredar berbagai mata uang yang dikeluarkan oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti mata uang dari Samudra Pasai, Aceh, Jambi, Palembang, Banten, dan Sumenep. Mata uang yang dikeluarkan pada umumnya hal Arab. Misalnya, Uang Kerajaan Jambi pada sisi belakang depan Arab “Sanat 1256” dan pada sisi depan “Cholafat al Mukmin”. Yang unik adalah uang Kerajaan Sumenep yang berasal dari uang asing dan kemudian diberi cap “Sumenep” dengan aksara Arab. Hal ini jadi salah satu bukti bahwa kerajaan-kerajaan Islam saat itu berperan aktif dalam kegiatan niaga di Nusantara, sehingga uang-uang kerajaan tersebut beredar seiring dengan mata uang asing, bahkan bisa dipertukarkan. Misalnya satu Real Spanyol sama dengan 16 mas (dirham) Aceh dan 4 shilling Inggris sama dengan 5 mas (dirham) Aceh.

Uang Kolonial

VOC dan usaha-usaha pembiayaan perdagangannya

​Kongsi dagang Belanda, VOC (1602-1799) yang mendominasi perdagangan di Nusantara berusaha mengembangkan semua mata asing yang beredar di Nusantara. Untuk mendukung Real Spanyol yang populer, cetaklah uang Real Belanda. Selain itu, uang perak Belanda, Rijksdaalder, dijadikan alat pembayaran standar di Nusantara. Pada tahun 1727, VOC mengedarkan Duit (uang tembaga recehan) untuk menggantikan Cassie Cina. Lalu, pada tahun 1748, VOC memperkenalkan uang kertas dalam bentuk surat berharga (sertifikat). Sambutan baik masyarakat yang mendorong VOC untuk menambah jumlah sertifikat yang dijual, dengan nilai nominal yang bervariasi, mulai dari 1 sampai 1000 Rijksdaalder. Sejak 1783, VOC mengedarkan uang kertas dengan jaminan perak 100%. STUIVER, DUIT,  DUKATON.

 

C. Hindia Timur waktu berada di tangan Inggris

 

Ketika Hindia Timur di tangan Inggris (1808-1815), Raffles berusaha memperbaiki keadaan keuangan di wilayah ini dengan menarik sekitar 8,5 juta Rijksdaalder dari peredaran, dan menghidupkan kembali Real Spanyol sebagai standar mata uang perak. Pada tahun 1813, Real Spanyol ini didukung dengan Ropij Jawa yang terbuat dari emas, perak, dan tembaga, yang dicetak di Surabaya

Pemerintah Hindia Timur dan Hindia Belanda

Uang Gulden Hindia Belanda

Pada tahun 1817, para Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen (1815-1819) yang memerintah Hindia Belanda atas nama Belanda, menerbitkan Gulden Hindia Belanda ('f'=florin) untuk menarik Ropij Jawa

 

Hubungan Pemerintah Hindia Belanda dan DJB

 

Masa Oktroi I – VIII Pada 1825, Raja Willem I mengusulkan agar didirikan suatu bank di Jawa. Usulan ini berlanjut dengan lahirnya De Javasche Bank pada 1828 dengan berlandaskan kepada suatu Oktroi, yaitu berwenang khusus dari Raja Belanda. Berdasarkan Oktroi tersebut, De Javasche Bank diberi wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas bank dengan nilai lima gulden ke atas. Karena terbatasnya uang pencetakan, sebagian uang yang beredar di Hindia Belanda merupakan uang, yaitu logam recehan tembaga yang diterbitkan VOC tahun 1727) yang kembali diberlakukan Van Den Bosch.

Seri Biljet DJB 1000 f

Seri Biljet 50 f

Seri Biljet 25

 

Masa DJB Wet Pada 1892, De Javasche Bankwet menguntungkan Oktroi. De Javasche Bank tetap mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dengan lima gulden ke atas. Uang kertas yang pernah dicetak De Javasche Bank diantaranya seri JP Coen, seri bingkai, dan seri mercurius. Adapun seri wayang merupakan uang kertas terakhir De Javasche Bank, sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang.

Zaman pendudukan Jepang

Uang Jepang Semasa pendudukan Jepang, semua kebijakan keuangan yang ditetapkan oleh Gunseikanbu, Pemerintah Militer Pusat, yang berusaha mempertahankan nilai gulden dan Rupiah Hindia Belanda, antara lain dengan penggunaan mata uang lain. Selain itu Pemerintah Pendudukan Jepang juga menerbitkan dan mengedarkan mata uang kertas yang disebut uang invasi. Emisi pertama berbahasa Belanda, beredar pada tahun 1942. Emisi kedua, tentunya 'Pemerintah Dai Nippon', namun tak sempat matiarkan. Emisi ketiga, 'Dai Nippon Teikoku Seihu', diearkan pada tahun 1943. Setelah pasukan sekutu mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945, komandan pasukan larangan penggunaan uang Jepang dan mengedarkan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

 

Uang Awal Ke​merdekaan RI

​Kemerdekaan Indonesia dan masuknya NICA ke Indonesia

Uang NICA

Pada awal kemerdekaan Indonesia, kondisi moneter negara ini sangat buruk. Diperkirakan, ada sekitar empat miliar Rupiah Jepang yang beredar; 1,6 miliar beredar di Pulau Jawa. Kondisi moneter mengkhawatirkan ketika NICA dengan Sekutu menduduki kota-kota besar Indonesia dan menguasai bank-bank Jepang, lalu mengedarkan Rupiah dari bank-bank tersebut. NICA menggunakan Rupiah jepang untuk membiayai operasi militer mereka, membayar gaji pegawai pribumi, dan mengedarkan uang tersebut ke seluruh Indonesia guna menarik simpati masyarakat. NICA juga mengedarkan Hindia Belanda baru yang dikenal sebagai uang NICA. Itu semua memperparah kondisi keuangan Indonesia.

You need to Login OR Register for comment.

Komentar (1)

Museum Nekara At 1: 50 am On May 05 2024

DAYAT